Aku dan Jalanan
Saat panas terik
matahari membakar tubuhku, gersang hatiku dalam peluhku aku menanti kesadaran
orang-orang diatas sana yang mereka seakan yakin agamanya dalam kebenaran,
tetapi mereka benar-benar mati berjalan diatas kebenaran-kebenaran itu. Disini
aku merakak, berjalan tertatih-tatih, berlari, jatuh dan bangkit.
Hanya apa yang ada ditanganku ini yang selalu menjadi
sahabatku dimana aku bisa menyuarakan nyanyian yang sesuai dengan nada-nada
indah yang ia lontarkan. Aku masih bisa tertawa lepas dengan sejuta harapan dan
impian-impian yang jika dinalar akupun jauh dari harapan-harapan itu, tetapi
aku yakin bahwa Tuhanku tahu akan harapan dan impianku itu.
Kata orang kami kaum marjinal yang lemah, kata orang kami
adalah sampah jalanan, tetapi aku menepis kata-kata yang dilontarkan
sampah-sampah itu, bagiku merekalah sampah yang tidak mencerna secara matang
kejadian-kejadian kehidupan didepan matanya.
Aku adalah Galang, Umurku 15 tahun. Aku memang tak
sekolah dan bagiku sekolah adalah tempat dimana orang dibodohi. Yah, sempat
terlintas dibenakku bahwa aku ingin merasakan duduk dibangku sekolah tetapi apa
daya yang kupunya adalah recehan uang yang biasanya aku dapatkan dari
orang-orang yang peduli denganku. Hanya recehan yang terkadang belum cukup
untukku, untuk memenuhi isi perut, untuk melangsungkan hidup. Inilah negeriku,
negeri yang kata orang paling kaya sedunia. Aku jadi teringat lagu dari Koes
Plus yang berjudul Kolam Susu, bagiku itu adalah lagu khayalan.
Kembali tentang pendidikan, aku hanya berdo’a semoga
mereka yang belajar dibangku sekolah bisa menjadi orang-orang besar, bukan
hanya di kantor-kantor besar tetapi mereka menjadi orang-orang besar di kolong
jembatan, di desa-desa terpencil, dijalanan, di tempat pembuangan akhir. Dan
benar-benar mengajarkan teori-teori yang mereka dapatkan dari bangku sekolah
untuk memahami arti kemanusiaan.
Kemarin sahabatku yang biasa aku panggil Badung menemui
ajalnya, tersirat kabar dia mati terserempet mobil mewah di pasar senin didekat
kolong jembatan yang biasa aku jadikan tempat naungan untuk menghindari
dinginnya malam, untuk rebahkan tubuh dan memejamkan mata. Setelah mendengar
kabar akupun menghampiri mayatnya di Rumah Sakit dimana Badung dijemput
malaikat maut. Ya, ketika aku sampai didepan pintu masuk Rumah Sakit itu satpam
mengusirku karena mereka melihat aku berpakaian yang menurut mereka tidak rapi,
tidak sopan,dan kotor. Akupun meneteskan air mata untuk rasa bersalahku tak
bisa menemui jasad temanku yang sudah aku anggap sebagai saudaraku. Aku
berfikir dan menyimpulkan bahwa orang-orang yang ada di Rumah Sakit itu
semuanya adalah kotor, Yah mereka dalam berpakaian memang bersih, putih tanpa
noda tetapi hati mereka busuk, kotor, dan tak peduli apa arti kemanusiaan.
Aku mengucapkan maaf kepada Tuhanku karena aku tak dapat
menemui jasad saudaraku sendiri, hanya dengan do’a untuk mengiringi
kepergiannya. Teringat obrolan mahasiswa yang biasanya nongkrong diwarung
remang-remang didekat aku mencari orang-orang yang didalam kantong sakunya
terdapat uang recehan untuk diberikan kepadaku. Mahasiswa itu mengucapkan bahwa
orang-orang jalanan itu kalau mati pasti jasadnya akan dijadikan bahan untuk
praktek di fakultas kedokteran. Jadi aku menyimpulkan bahwa jasad saudaraku
akan dijadikan bahan untuk praktek, aku sedih teringat kata-kata yang
dilontarkan mahasiswa-mahasiswa itu. Saat itu aku duduk di trotoar melihat lalu
lalang kendaraan dan sesekali aku batuk karena tak kuasa menghirup udara-udara
yang tercemar disekelilingku.
Badung lebih muda 1 tahun dariku, dia ditinggal pergi ibu
dan ayahnya sejak bayi. Dia dulu sempat tinggal di panti asuhan karena memang
orang tuanya tak mau mengasuh dia sehingga dia dititipkan secara diam-diam
dipanti. Dia orang yang suka sekali membantah perkataan-perkataanku yang bagiku
perkataannya kurasa benar ketika aku berfikir secara dalam akan
perkataan-perkataannya. Badung dulu pernah bercerita tentang pengalaman
dibangku sekolah. Kata Badung bangku sekolah itu menyenangkan, dia bercerita
tentang teman-temannya, guru-gurunya, dan Ibu-ibu kantin yang humoris. Dia
menyuruhku untuk bekerja keras dan menyisihkan uang untuk ditabung. Ya, untuk
masuk sekolah katanya, ia berharap aku masuk sekolah.
Dia putus sekolah karena Ibunya tak bisa membayar, sehingga
ia kini terpaksa bekerja sepertiku, mencari recehan uang dijalanan. Bagiku
jalanan adalah sekolahanku dimana dengan panca indraku aku mencerna semua
kejadian yang ada disekelilingku. Tetapi temanku Badung sekarang pergi mendahuluiku.
Aku kini bertekad untuk mewujudkan apa yang diharapkan
Badung, bahwa Badung ingin aku sekolah dan sekarang aku akan mewujudkannya. Aku
ingin menjadi orang-orang besar yang mengajarkan arti kata kemanusiaan.
Saya minta ijin copy paste ya kak :-)
BalasHapusKeren..kiranya banyak orang membacanya..sekurangnya sekadar menyadarkan
BalasHapusIzin kopas
BalasHapuscerpen yang bagus, izin copas kak
BalasHapus