Senin, 27 Januari 2014

Cerpen Tentang Kemanusiaan

Aku dan Jalanan
Saat panas terik matahari membakar tubuhku, gersang hatiku dalam peluhku aku menanti kesadaran orang-orang diatas sana yang mereka seakan yakin agamanya dalam kebenaran, tetapi mereka benar-benar mati berjalan diatas kebenaran-kebenaran itu. Disini aku merakak, berjalan tertatih-tatih, berlari, jatuh dan bangkit.
            Hanya apa yang ada ditanganku ini yang selalu menjadi sahabatku dimana aku bisa menyuarakan nyanyian yang sesuai dengan nada-nada indah yang ia lontarkan. Aku masih bisa tertawa lepas dengan sejuta harapan dan impian-impian yang jika dinalar akupun jauh dari harapan-harapan itu, tetapi aku yakin bahwa Tuhanku tahu akan harapan dan impianku itu.
            Kata orang kami kaum marjinal yang lemah, kata orang kami adalah sampah jalanan, tetapi aku menepis kata-kata yang dilontarkan sampah-sampah itu, bagiku merekalah sampah yang tidak mencerna secara matang kejadian-kejadian kehidupan didepan matanya.
            Aku adalah Galang, Umurku 15 tahun. Aku memang tak sekolah dan bagiku sekolah adalah tempat dimana orang dibodohi. Yah, sempat terlintas dibenakku bahwa aku ingin merasakan duduk dibangku sekolah tetapi apa daya yang kupunya adalah recehan uang yang biasanya aku dapatkan dari orang-orang yang peduli denganku. Hanya recehan yang terkadang belum cukup untukku, untuk memenuhi isi perut, untuk melangsungkan hidup. Inilah negeriku, negeri yang kata orang paling kaya sedunia. Aku jadi teringat lagu dari Koes Plus yang berjudul Kolam Susu, bagiku itu adalah lagu khayalan.
            Kembali tentang pendidikan, aku hanya berdo’a semoga mereka yang belajar dibangku sekolah bisa menjadi orang-orang besar, bukan hanya di kantor-kantor besar tetapi mereka menjadi orang-orang besar di kolong jembatan, di desa-desa terpencil, dijalanan, di tempat pembuangan akhir. Dan benar-benar mengajarkan teori-teori yang mereka dapatkan dari bangku sekolah untuk memahami arti kemanusiaan.
            Kemarin sahabatku yang biasa aku panggil Badung menemui ajalnya, tersirat kabar dia mati terserempet mobil mewah di pasar senin didekat kolong jembatan yang biasa aku jadikan tempat naungan untuk menghindari dinginnya malam, untuk rebahkan tubuh dan memejamkan mata. Setelah mendengar kabar akupun menghampiri mayatnya di Rumah Sakit dimana Badung dijemput malaikat maut. Ya, ketika aku sampai didepan pintu masuk Rumah Sakit itu satpam mengusirku karena mereka melihat aku berpakaian yang menurut mereka tidak rapi, tidak sopan,dan kotor. Akupun meneteskan air mata untuk rasa bersalahku tak bisa menemui jasad temanku yang sudah aku anggap sebagai saudaraku. Aku berfikir dan menyimpulkan bahwa orang-orang yang ada di Rumah Sakit itu semuanya adalah kotor, Yah mereka dalam berpakaian memang bersih, putih tanpa noda tetapi hati mereka busuk, kotor, dan tak peduli apa arti kemanusiaan.
            Aku mengucapkan maaf kepada Tuhanku karena aku tak dapat menemui jasad saudaraku sendiri, hanya dengan do’a untuk mengiringi kepergiannya. Teringat obrolan mahasiswa yang biasanya nongkrong diwarung remang-remang didekat aku mencari orang-orang yang didalam kantong sakunya terdapat uang recehan untuk diberikan kepadaku. Mahasiswa itu mengucapkan bahwa orang-orang jalanan itu kalau mati pasti jasadnya akan dijadikan bahan untuk praktek di fakultas kedokteran. Jadi aku menyimpulkan bahwa jasad saudaraku akan dijadikan bahan untuk praktek, aku sedih teringat kata-kata yang dilontarkan mahasiswa-mahasiswa itu. Saat itu aku duduk di trotoar melihat lalu lalang kendaraan dan sesekali aku batuk karena tak kuasa menghirup udara-udara yang tercemar disekelilingku.
            Badung lebih muda 1 tahun dariku, dia ditinggal pergi ibu dan ayahnya sejak bayi. Dia dulu sempat tinggal di panti asuhan karena memang orang tuanya tak mau mengasuh dia sehingga dia dititipkan secara diam-diam dipanti. Dia orang yang suka sekali membantah perkataan-perkataanku yang bagiku perkataannya kurasa benar ketika aku berfikir secara dalam akan perkataan-perkataannya. Badung dulu pernah bercerita tentang pengalaman dibangku sekolah. Kata Badung bangku sekolah itu menyenangkan, dia bercerita tentang teman-temannya, guru-gurunya, dan Ibu-ibu kantin yang humoris. Dia menyuruhku untuk bekerja keras dan menyisihkan uang untuk ditabung. Ya, untuk masuk sekolah katanya, ia berharap aku masuk sekolah.
            Dia putus sekolah karena Ibunya tak bisa membayar, sehingga ia kini terpaksa bekerja sepertiku, mencari recehan uang dijalanan. Bagiku jalanan adalah sekolahanku dimana dengan panca indraku aku mencerna semua kejadian yang ada disekelilingku. Tetapi temanku  Badung sekarang pergi mendahuluiku.

            Aku kini bertekad untuk mewujudkan apa yang diharapkan Badung, bahwa Badung ingin aku sekolah dan sekarang aku akan mewujudkannya. Aku ingin menjadi orang-orang besar yang mengajarkan arti kata kemanusiaan.